18 Juni 2022

BIOGRAFI KH. DJAMALUDDIN ACHMA

*BIOGRAFI KH. DJAMALUDDIN ACHMAD*

1. Kelahiran
Beliau bernama Moh. Djamaluddin bin Achmad bin Hasan Mustajab bin Hasan Musthofa bin Hasan Mu’ali. Lahir pada tanggal 31 Desember 1943 di kampung Kedungcangkring Desa Gondanglegi Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk. Ayah beliau bernama Achmad bin Hasan Mustajab dan ibunya bernama Hj Mahmudah / Djumini (nama sebelum haji) binti Abdurrahman bin Irsyad bin Rifa’i. Beliau adalah anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu:
1. Imam Ghozali yang meninggal pada umur 6 tahun,
2. Jawahir
3. Moh. Djamaluddin
4. Zainal Abidin.

2. Masa Kecil
Di waktu kecil sebelum sekolah di SR (SD sekarang), Djamal kecil senang tidur di rumah kakeknya dari ibu yang bernama Abdurrahman dan neneknya yang bernama Ummi Kultsum binti K. Tamyiz Banten. Ini disebabkan karena kakek dan neneknya suka bercerita tentang Nabi-Nabi dengan dilagukan tembang-tembang jawa, sampai sekolah di SR masih suka tidur di rumah kakeknya dan bila siang hari suka mengikuti kakeknya.
Sekitar tahun 1952, Djamal kecil kalau malam hari mengaji di pondok Selorejo Peduluhan Combre Desa Gondang legi, yang diasuh oleh K. Abu amar. Dan suatu saat selama berbulan-bulan mengaji di tempat KH. Abdul Djalil gondang legi, suatu saat lagi selama berbulan-bulan mengaji di KH. Abdul Ghofur yakni adik dari neneknya sendiri. Semenjak dari usia itu diluar kegiatan belajar, di sore hari suka memancing dan kalo malam hari sehabis mengaji sering diajak teman-temannya yang sudah dewasa melihat wayang kulit, sehingga dari itu beliau punya hasrat untuk belajar di pesantren karena diilhami dari nonton wayang kulit yang kebetulan lakonnya adalah Raden Abimanyu yang berguru pada eyangnya Begawan Abiyoso, karena dirasa Raden abimanyu seperti santri dan Begawan Abiyoso seperti kyai yang memakai serban yang selalu membawa tongkat dan selalu diikuti oleh seorang cantrik.
Setelah tamat SR, beliau ingin belajar di pondok pesantren Tambakberas Jombang atas saran pamannya yang bernama Suhat, karena pamannya ini belajar di sana dan khidmah di rumah KH. Abdul Fattah. Diwaktu akan berangkat ke pondok, beliau berpamitan kepada K. Abu Amar,
Kemudian Kiai Abu amar berwasiat; “Djamal, kowe nek mondok niatmu opo ?"
Beliau menjawab “Dereng saget Mbah.” Kiai Abu Amar menjawab “Kowe nek mondok ojo pisan-pisan niat dadi wong pinter, nanging niato golek ilmu sing manfaat.”
Setelah berpamitan pada Kiai Abu amar, kemudian sowan kepada KH. Abdul Ghofur yang berwasiat “Djamal ngertenono ilmu seng manfaat iku contone koyok banyu, banyu kuwi ora demen manggon ing tanah kang duwur, neng demen manggon ing tanah kang endek lan tanah kang ledok, tegese ilmu seng manfaat kuwi mung seneng manggon ono ing ati kang andap asor lan toto kromo, mulane mbeso’ kapan wes nang pondok bisoho dadi kesete santri.” Ketika berpamitan kepada ibunya, ibunya merasa keberatan karena merasa tidak mampu memberikan biaya untuk belajar di pondok, akhirnya selama 5 hari, setiap pagi beliau menangis di telapak kaki ibunya untuk diberikan restu belajar di pondok pesantren. Akhirnya ibunya memberikan restu juga dengan janji memberikan bekal yang sangat minim. Pada waktu berangkat, seperti santri-santri yang lain, beliau juga membawa beras, kelapa dan sedikit uang, berangkat dari rumah diikuti oleh ayah dan ibunya menuju ke jalan raya untuk menunggu kendaraan, mulai dari rumah sampai ke jalan raya selalu disertai tangisan dari kedua orang tuanya lebih-lebih ibunya. Akhirnya sampailah beliau di pondok Tambakberas Jombang, adapun bekal yang sangat minim tadi, setelah cukup untuk membayar becak, persyaratan-persyaratan masuk pondok dan madrasah, uang itu habis tinggal beberapa rupiah saja, untung dari rumah membawa beras dan kelapa sehingga cukup untuk hidup beberapa bulan.

3. MASA PENDIDIKAN
Beliau berangkat ke pondok pesantren Tambakberas Jombang pada pertengahan 1956, masuk MI di kelas II dan dipertengahan tahun langsung masuk kelas III. Karena pondok mulai membangun Madrasah Mu’allimin, maka murid kelas I Mu’allimin diambil dari murid kelas VI MI, otomatis kelas V menjadi kelas VI, kelas IV menjadi kelas V dan kelas II menjadi kelas III. Selama di Tambakberas bekal beliau selalu kekurangan, pernah selama beberapa bulan terkadang sampai setahun hanya memasak nasi dan untuk lauknya hanya merebus air yang diberi garam, tumbar dan merica saja, terkadang dari ibunya disuruh membawa kedelai dan tepung untuk membuat rempeyek di pondok dan jika sudah habis maka keadaan akan kembali seperti semula, terkadang pula selama beberapa bulan hidup dengan cara lain yakni kalau pagi membeli sepotong singkong rebus dan kolak kacang hijau satu mangkok begitu pula di sore hari. Pada pagi hari yang kedua seperti itu juga dan pada sore hari yang kedua membeli nasi satu piring dan minum air kendi, Tapi ternyata itu semua belum cukup untuk memenuhi kebutuhan perutnya sehingga bila malam tiba setelah jam 12 malam, ia mencari sisa-sisa intip nasi yang masih tersisa di kendil masak.
Sekitar pertengahan tahun 1959 beliau tamat MI kemudian masuk Mu’allimin. Pada pertengahan 1964 beliau tamat Mu’allimin lebih cepat karena dari kelas III beliau langsung masuk kelas V. Diwaktu masih duduk di kelas III, beliau sudah diperintah KH. Fattah untuk mengajar di Madrasah Wajib Belajar (MWB) di lingkungan pondok Tambak beras juga, adapun murid-muridnya pada waktu itu adalah; Luthfi Arif, Ansori Shehah, Lahnan, Shohib dan lain-lain. Disamping mengajar di MWB beliau juga mengajar di pondok putri Al-Fathimiyyah dan pondok putra (pondok induk sekarang) yakni di komplek Pangeran Diponegoro.
Pada waktu kelas V beliau dipercaya oleh kepala sekolah Mu’allimin yang waktu itu dijabat oleh KH. Ahmad Al Fatih sebagai ketua OSIS, dan dipercaya oleh pengurus pondok pesantren sebagai ketua Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz, dan dipercaya oleh pelajar pesantren sedaerah kediri yang berdomisili di PP. Tebuireng, Sambong, Denanyar dan Tambakberas sebagai ketua Orda yang bernama IKPK (Ikatan Keluarga Pelajar Kediri).
Begitu tamat dari Mu’allimin, beliau diambil menantu oleh KH. Fattah mendapatkan putrinya yang bernama Churriyyah yang masih kelas I Mu’allimat.
Pada akhir tahun 1964 beliau mempunyai keinginan untuk pindah ke pondok Lasem, namun masih belum tahu kepada kyai siapa, karena banyaknya kyai disana. Kemudian beliau beristikhoroh, pada istikhoroh pertama beliau melihat sebuah jeding dan musholla, lalu beliau mengambil air wudlu dan sholat dluha di musholla tersebut. Sesampainya di Lasem ternyata beliau menemukan bahwa itu adalah pondok Al- Wahdah yang diasuh oleh KH Baidlowi bin Abdul Aziz, seorang kyai yang ‘arif billah yang pada waktu itu menjadi Ro’is Thoriqoh se-Indonesia. Pada istikhoroh kedua, beliau merasa naik kendaraan yang berjalan begitu jauh yang kemudian turun di pasar, lalu beliau berjalan kaki turun ke jurang terus naik ke gunung, turun ke jurang lagi lalu naik ke gunung lagi, ternyata di atas gunung itu ada sebuah Masjid, beliau masuk masjid itu terus langsung sampai ke jerambahnya, waktu memandang ke timur tampak sebuah pondok yang banyak kamarnya, begitu pula waktu memandang ke barat dan utara, dan ketika memandang ke selatan tampak pemandangan yang bebas. Ternyata itu adalah sebuah pondok yang diasuh oleh Kiai Asy’ari Poncol Salatiga, sifat-sifat pondok itu persis seperti dalam mimpi. Pondok yang ditempati para santri berada di timur, barat dan utara masjid, sedang di selatan masjid terdapat sebuah sawah yang luas sekali sejauh mata memandang. Di pondok ini belajar mengaji setiap bulan Jumadil akhir mulai dari tahun 1967, 1968 dan 1969. yang dikajikan adalah kitab-kitab Bukhari Muslim dan Dala’ilul Khoirot disamping juga ijazah-ijazah yang lain.
Dipondok Salatiga itu pondoknya yang tetap di Lasem itu mulai tahun 1965 sedangkan pondok poncol salatiga hanya pada bulan Jumadil akhir saja. Setelah ada kepastian akan mondok di poncol salatiga, beliau berpamitan kepada KH Fattah, namun oleh beliau di suruh menunggu sejenak kurang lebih setahun, karena Kiai Fattah beserta Ibu Nyai mau berangkat haji. Awal tahun 1965 beliau baru berangkat ke Lasem dengan diantar adiknya yang bernama Zainal Abidin. Perjalanan Jombang-Lasem memakan waktu 2 hari 2 malam karena sulitnya kendaraan disebabkan adanya peristiwa G 30 S PKI.
Setelah satu tahun di Lasem, beliau dipercaya oleh santri-santri dari Madura dan Jatim yang ada di pondok Al-Ikhlas (Syaikh Masduqi Lasem), Al-Hidayah (Syaikh Ma’shum), serta pondok Al-Wahdah (KH. Baidlowi) untuk mendirikan organisasi santri yang disebut PUTRA SUNAN AMPEL, yang kegiatannya meliputi:
1. Bahtsul Masa’il
2. Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz
3. Jam’iyyah Dziba’iyyah
4. Olahraga yang berupa; Badminton, Volly Ball, Pencak Silat juga atraksi kekebalan tubuh.
Pada tahun 1967 beliau dipercaya oleh santri-santri Al- Wahdah menjadi ketua pondok, disamping itu banyak juga yang meminta ngaji, tidak tanggung-tanggung yang meminta ngaji adalah para kyai, seperti: Kiai Sulaiman yang mondoknya di Al-Ikhlas, minta ngaji Al-‘Arudl, Gus Abdul Halim (putra Kiai Muslim Kempek Cirebon), Gus Masyhadi putra (Kiai Harun Cirebon), Gus Nur, Gus Muhlisun dari Watu congol Magelang yang minta ngaji ‘Uqudul Jinan, disamping juga dari para santri Al-Wahdah yang meminta ngaji Riyadlus Sholihin dan ‘Idatul farid, begitu pula santri-santri dari pondok-pondok lain.
Selama kurang lebih 3 tahun mondok di Lasem, beliau tidak pernah pulang ke rumah, suatu hari setelah ‘ashar beliau mendapat surat dari ibunya yang isinya “Djamal muliho aku wis kangen.” Beliau menangis karena waktu itu beliau sudah berencana dan menabung untuk mondok di Mranggen Demak yang diasuh oleh KH. Muslih bin Abdurrahman untuk khataman kitab Al-Mahalli.
Pada waktu itu semua pakaian, kitab-kitab dan koper telah disiapkan, karena besoknya akan berangkat ke Demak. Beliau hanya bisa menangis karena satu sisi dia ingin mengaji dan disisi lain harus patuh pada ibunya. Akhirnya beliau sowan pada Kiai Baidlowi tanpa mengatakan apapun dan hanya menangis saja, tanpa bertanya Kiai Baidlowi berkata: "Cung, anak iku sing apik manut wong tuo.” Setelah sowan beliau langsung pulang, sampai di Jombang malam hari jam 11, terpaksa menginap di kamar pondok dan tidak sowan KH. Fattah karena takut akan diakadi sebab sebelum berangkat ke Lasem, beliau sudah positif diambil menantu namun belum akadan karna permohonan keluarga Nganjuk agar menyelesaikan dulu menuntut ilmu di pondok pesantren.
Ternyata kepulangan beliau diketahui oleh Kiai Fattah dan Ibu Nyai Fattah yang ketika itu disertai ibu nyai Iskandar, kemudian Ibu Nyai Fattah berpesan, oleh karena akhir bulan Sya’ban itu akan diadakan Haflah Akhir Sanah (Imtihan), maka keluarga Gondang legi beserta ayah ibu beliau dan saudara-saudaranya diundang agar datang ke Tambakberas, akhirnya pada pelaksanaan Akhirus Sanah, seluruh keluarga Gondanglegi menghadiri dan pulang keesokan harinya, namun beliau oleh Kiai Fattah tidak boleh pulang dulu seraya berkata kepada keluarga Gondang legi “Djamal kersane kentun rumiyen.”
Kira-kira keluarga masih ditengah perjalanan, beliau dipanggil oleh Kiai Fattah dan berkata “Djamal engko bengi kowe ta’ akadi, Mumpung mbah Bisri isih sugeng, lan iki duit kanggo mas kawin.” sambil mengambil uang Rp 1.000,- tanpa amplop dan dimasukkan ke dalam sakunya. Setelah sampai di kamar beliau menangis karena merasa bingung, satu sisi ayah dan ibu menghendaki akad nikah setelah selesai belajar di pondok dan disisi lain gurunya menghendaki dipercepat, dua hal yang bertentangan ini kemudian dipikir secara mendalam dan beliau ingat akan pelajaran guru akhlaq ketika masih di rumah yang pada waktu itu mengaji kitab Al-Mathlab bab akhlaq yakni apabila terjadi perbedaan pendapat antara guru dan orang tua maka yang harus didahulukan adalah guru. Akhirnya setelah itu beliau-pun siap untuk diakadi malam itu, akan tetapi karena tidak punya baju yang layak maka beliau-pun pinjam jas dari teman pondok yang bernama Afifuddin dari Magelang.

Dikutip dari
Bumi Damai Al-Arifin - Januari 23, 2017

Tidak ada komentar: