Indonesia bercita-cita menjadi negara maju pada 2045. Presiden Jokowi menegaskan, SDM unggul kunci utama mencapai cita-cita itu. Juga ditekankan pentingnya bekerja produktif dengan fokus kepada hasil (outcome) serta menjadikan inovasi sebagai budaya. Visi Presiden ini diterjemahkan Mendikbud Nadiem Makarim menjadi visi Merdeka Belajar.
Hal paling fundamental dari visi ini adalah fokus terhadap kualitas belajar murid. Semua program Kemendikbud harus bertujuan untuk tercapainya tumbuh kembang setiap murid secara holistik lahir dan batin sesuai kodrat alam dan zamannya.
Permasalahannya, ekosistem pendidikan telah lama terbelenggu oleh budaya kepatuhan yang tujuan utamanya adalah pemenuhan regulasi secara formal (compliance). Budaya kepatuhan ini perlu ditransformasi menjadi budaya inovasi dengan kualitas belajar murid sebagai tujuan utama setiap pemangku kepentingan.
Refleksi kritis sertifikasi guru
Walaupun capaian pemelajaran bukan semata-mata tergantung guru, guru memegang peranan penting dalam kualitas proses dan hasil belajar murid. Berbagai penelitian menunjukkan, pengaruh signifikan kualitas guru terhadap hasil belajar murid.
Sesuai dengan UU No 14/2015, sertifikat pendidik dari program sertifikasi guru adalah sinyal kredensial utama bahwa seorang guru memiliki kompetensi yang baik. Sayangnya, dari berbagai studi empiris, kepemilikan sertifikat pendidik tidak menjadi jaminan kualitas kinerja guru di Indonesia.
Pada saat lebih dari Rp 500 triliun anggaran telah dikeluarkan untuk kebijakan sertifikasi guru sejak 2006, berbagai studi, termasuk studi randomized experiment berskala besar oleh Bank Dunia (2017), menyimpulkan bahwa program sertifikasi guru tak berdampak pada hasil belajar murid.
Dalam studi video asesmen internasional lainnya, yaitu TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) 2015 disimpulkan tak ada perbedaan praktik mengajar dan hasil belajar siswa antara guru-guru yang bersertifikasi dan guru tak bersertifikasi. Malah guru-guru bersertifikasi cenderung menggunakan pendekatan yang berpusat pada guru.
Hasil performa murid-murid Indonesia di sejumlah asesmen internasional, seperti PISA (Programme for International Student Assessment), juga tak mengalami peningkatan secara konsisten dan signifikan sejak diluncurkannya program sertifikasi guru di 2006. Bahkan, performa murid Indonesia menurun pada PISA 2018. Hasil yang kurang menggembirakan juga ditunjukkan pada AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia) yang dilakukan Pusat Penilaian Pendidikan Kemendikbud pada 2016 dan 2019.
AKSI 2016 memperlihatkan sebagian besar murid SD kelas V memiliki kemampuan rendah di bidang matematika (77,13 persen), membaca (46,83 persen), dan sains (73,61 persen). Sementara AKSI 2019 memperlihatkan sebagian besar murid SMP kelas IX memiliki kemampuan rendah di bidang matematika (79,44 persen), membaca (55,85 persen), dan sains (66,11 persen).
Strategi transformasi
Visi Merdeka Belajar bertujuan memberdayakan segenap pemangku kepentingan untuk melakukan perubahan dan menjadi agen perubahan dalam meningkatkan hasil belajar murid. Dalam visi ini, sekolah adalah unit inovasi yang paling utama.
Guru-guru yang berkomitmen tinggi dan memahami pemelajaran yang berpihak pada murid perlu didorong untuk menjadi pemimpin-pemimpin sekolah. Secara sosiokultural, Indonesia masih sangat dipengaruhi budaya feodal. Perubahan dalam budaya ini akan terjadi dengan lebih cepat dan sukses jika pemimpinnya adalah pemimpin yang transformatif.
Studi komparatif yang dilakukan melalui kolaborasi McKinsey & Company dan The National College for Leadership of Schools and Children’s Services di 2010 menyimpulkan, bentuk kepemimpinan yang sangat diperlukan untuk kesuksesan sekolah adalah kepemimpinan yang berfokus pada pengajaran, pembelajaran, dan manusia yang ada di sekolah.
Kepala sekolah harus mumpuni dalam kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership). Kepala sekolah harus memahami pembelajaran yang berorientasi pada murid. Ia juga piawai dan aktif dalam mengembangkan guru-guru di sekolah melalui coaching/mentoring. Pemilihan pemimpin sekolah adalah salah satu keputusan terpenting dalam sistem pendidikan.
Berbagai pemangku kepentingan di komunitas perlu bersinergi dalam peningkatan kualitas guru dan pemimpin sekolah. Pemerintah menjadi pemberdaya (enabler) kolaborasi. Sekolah yang sudah dapat menerapkan instructional leadership perlu bergerak untuk menjadi mentor bagi calon pemimpin sekolah dan sekolah lainnya. Inilah sekolah-sekolah penggerak.
Selain itu, komunitas/ organisasi pendidikan yang telah menjalankan model-model pelatihan yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar murid perlu berdaya untuk mendorong terbentuknya sekolah penggerak.
Pendidikan profesi calon guru juga harus menghasilkan generasi guru baru yang berorientasi pada murid. Selain memiliki kompetensi untuk pengetahuan dan praktik profesional, guru generasi baru Indonesia yang kita cita-citakan harus berakhlak mulia, bernalar kritis, mandiri, kreatif, gotong royong, dan berkebinekaan global. Mereka memiliki renjana (passion) menjadi guru dan memandang anak dengan rasa hormat.
Guru generasi baru berjiwa Indonesia dan merupakan pembelajar sepanjang hayat yang menguasai teknologi pemelajaran. Untuk itu, dibutuhkan revitalisasi pendidikan profesi guru yang fundamental dan komprehensif. Seleksi masuk harus berstandar tinggi yang menekankan bukan saja pada penguasaan konten, tetapi yang terpenting pada asesmen disposisi calon guru. Calon peserta pendidikan profesi guru memang memiliki kemauan kuat untuk menjadi guru, bukan karena motif lain, seperti karena ingin menjadi PNS.
Selain itu, diperlukan model-model alternatif dalam pendidikan profesi guru melalui ekspansi penyelenggara pendidikan profesi yang berkualitas dunia. Kurikulum pendidikan profesi guru perlu lebih berorientasi praktik pemelajaran yang berpusat pada murid.
Pengajarnya harus memiliki pengalaman mengajar di sekolah dan pemahaman konteks praktik pemelajaran berorientasi kepada murid. Ibarat di profesi kedokteran, tak mungkin seorang calon dokter bedah dibimbing oleh dokter yang tidak pernah melakukan operasi bedah di rumah sakit. Asesmen di pendidikan profesi guru harus menekankan pada kemampuan untuk praktik pemelajaran berorientasi pada murid dan kualitas refleksi.
Selanjutnya, budaya belajar guru dalam jabatan perlu diperkuat. Pusat pengembangan keprofesian guru dan pemimpin sekolah perlu dikembangkan di setiap provinsi. Pusat ini bersifat inklusif, menjadi tempat bertemunya berbagai pemangku kepentingan seperti guru, pemimpin sekolah, organisasi profesi, akademisi, penggiat dan komunitas pendidikan serta pemerintah.
Kebutuhan belajar guru difasilitasi secara relevan sesuai konteks tantangan praktik yang dihadapinya. Diperlukan diferensiasi pemelajaran guru untuk meningkatkan efisiensi dan dampak terhadap praktik pengajaran. Yang terpenting, semua guru dan pemimpin sekolah harus dapat mengembangkan kemampuan mengajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan murid (teach at the right level).
Akhirnya, semua upaya peningkatan kualitas guru dan pemimpin sekolah haruslah berpijak pada prinsip bahwa semua guru yang mengabdi harus mendapatkan penghasilan yang layak. Tidak boleh ada guru yang mendapat gaji di bawah standar minimum yang layak. Untuk mengatasi ini selain dibutuhkan penyelesaian masalah guru honorer dan perencanaan formasi guru yang lebih baik, Kemendikbud perlu melakukan dialog intensif lintas kementerian untuk mencari solusi efektif untuk menjamin kesejahteraan semua guru.
Regulasi dan tata kelola
Transformasi guru dan pemimpin sekolah ini membutuhkan pembenahan regulasi. Model kompetensi guru dan kepala sekolah yang saat ini bersifat stagnan perlu direvisi dengan pendekatan developmental (kontinuum). Jenjang karier guru dan pemimpin sekolah perlu diintegrasikan dengan tahap perkembangan dari perekrutan dan promosi guru sepanjang kariernya.
Tunjangan guru diarahkan untuk berbasis kinerja sehingga dapat memacu kualitas pengajaran secara konsisten. Tata kelola guru dan kepala sekolah antara pusat dan daerah perlu disinergikan lebih baik lagi terutama untuk memastikan diangkatnya pemimpin-pemimpin sekolah yang memiliki kemampuan sebagai pemimpin pembelajaran (instructional leader).
Perwujudan ekosistem guru dan pemimpin sekolah yang profesional mensyaratkan pula ekosistem organisasi profesi yang kuat. Organisasi profesi harus jadi sumber inovasi yang memajukan ilmu, etika, dan kualitas layanan profesi guru. Yang terpenting, semua organisasi profesi harus memegang teguh asas yang dikumandangkan Ki Hajar Dewantara pada saat pendirian Taman Siswa hampir 100 tahun lalu.
”Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak, tidak untuk meminta sesuatu hak, tetapi untuk mengembangkan potensi sang anak.” Orientasi pada murid, atau "diidolakan sang murid” ini seyogianya menjadi orientasi utama semua pemangku kepentingan dalam transformasi guru dan pemimpin sekolah.
Transformasi guru dan pemimpin sekolah ini harus menjadi sebuah gerakan bersama, gerakan gotong royong. Menjadi guru harus menjadi sebuah kebanggaan.
Guru adalah sebuah profesi yang mulia dan terhormat. Status sosial ekonomi guru semestinya sama dengan profesional lain karena peran guru sangat penting dalam pembangunan bangsa. Guru adalah inspirasi dalam menyikapi perkembangan zaman. Guru adalah roh pergerakan bangsa menggapai cita-citanya. Guru adalah agen perubahan karakter warga negara. Mari bersama-sama bergerak dan berjuang menuju terciptanya guru dan pemimpin sekolah Indonesia berkelas dunia!
Sumber asli:
Oleh: Iwan Syahril
Kompas Cetak, 29 Mei 2020
https://kompas.id/baca/opini/2020/05/29/transformasi-guru-dan-pemimpin-sekolah/
(Iwan Syahril Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar